Saturday, August 9, 2014

RA Kosasih

Tulisan ini diambil dari suplemen SELISIK, Harian Umum Pikiran Rakyat, Senin (Kliwon) 4 Agustus 2014, 8 Syawal, 1435 H, Sawal 1947, tulisan dan foto oleh Anton Kurnia, cerpenis dan pecinta komik, ilustrasi oleh Ali Parma. Selamat membaca.



Dari lintasan sejarah komik kita, terdapat sejumlah nama yang layak digelari maestro. Di antaranya komikus legendaris RA Kosasih. Dialah maestro dan pelopor komik wayang kita.

Raden Ahmad Kosasih dilahirkan di Bogor, 4 April 1919, dan wafat di Ciputat, Tangerang, 24 Juli 2012, dalam usia 93 tahun, meninggalkan warisan karya-karya besar yang telah menjadi klasik dalam khazanah komik Indonesia.

Dalam sejarah komik nasional, RA Kosasih adalah komikus pertama yang menerbitkan komik sebagai buku utuh melalui kisah fantasi Sri Asih (1953), perempuan superhero berkostum penari Sunda yang sakti dan bisa terbang. Karakter ini diakuinya terinspirasi tokoh komik Wonder Woman (1941) karya William Marston.

Komik ”Sri Asih” tidak terbit mula-mula sebagai komik serial (comic strip) di majalah. Serial ini dibukukan dalam beberapa judul, antara lain Sri Asih dengan Bajak Laut, Sri Asih dengan Gerombolan (yang dimaksud ”Gerombolan” di sini adalah pasukan pemberontak DI/TII), Sri Asih Membasmi Gerombolan Srigala Hitam (kelak nama gerombolan penjahat ini ”dipinjam” Kus Bram dalam salah satu episode komik Labah-labah Merah gubahannya), Sri Asih di Surabaya, Sri Asih di Singapura, dan Sri Asih di Macao. Kemudian, penerbitan buku komik itu diikuti oleh John Lo melalui Nina Putri Rimba pada tahun yang sama. Setelahnya, bom komik sebagai komoditas pun meledak seiring dengan munculnya buku-buku komik karya para komikus lain.

Selain itu, RA Kosasih dikenal luas oleh khalayak karena mampu menyadur karya sastra adiluhung semacam epos Mahabharata dan Ramayana menjadi komik yang merakyat. Di tangannya kisah pewayangan berhasil divisualisasikan dalam bentuk cerita bergambar yang memikat.

Seiring dengan situasi politik nasional yang memanas dan bergerak kian ke kiri pada 1950-an, komik dituding sebagai semacam ”buah terlarang” atau du fruit defendu -menurut istilah Marcell Bonneff, peneliti komik Indonesia asal Prancis- serta dihujat sebagai bacaan sampah yang meracuni generasi muda, bersifat kebarat-baratan karena kerap merupakan adaptasi dari komik asing, dan kontrarevolusioner. Komik wayang yang bercirikan budaya kita dengan ajaran moral yang dibungkus kisah menarik seperti yang dirintis oleh RA Kosasih menjadi terobosan kreatif untuk melawan stigmatisasi itu.

Penerbit Melodie, Bandung, adalah yang pertama mendorong R A Kosasih membuat komik wayang. ”Saat itu komik dihujat karena dianggap produk murahan dan berakibat buruk bagi anak-anak. Saya tergerak untuk membuat komik cerita rakyat yang berisi pesan moral. Hingga akhirnya saya mencoba membuat komik wayang Burisrawa Merindukan Bulan. Judul itu laku keras dan penerbit Melodie Bandung meminta saya membuat komik wayang cerita panjang dan berseri. Saya terpikir kitab Mahabharata yang punya pesan moral dan sudah mengakar dalam budaya Indonesia,” ujarnya suatu ketika.

RA Kosasih menggubah serial komik wayang Mahabharata berdasarkan buku terjemahan Bhagawat Gita terbitan Balai Pustaka. Ia berusaha tetap setia dengan pakem cerita asli, tidak mencampurnya dengan kisah wayang purwa Jawa -yang kemudian versi komiknya digarap oleh S Ardisoma. Misalnya, tidak ada tokoh punakawan dalam komik Mahabharata gubahannya. Namun, dia tetap berusaha membumikan kisah berlatar budaya Hindu-India itu dengan norma budaya kita. Satu contoh, dia mengubah Drupadi yang bersuami kelima Pandawa dalam kisah asli menjadi hanya sebagai istri Yudhistira, sulung Pandawa. Untuk penggambaran tokoh-tokohnya, dia mengambil referensi dari wayang golek dan wayang orang. Ini terutama terkait detail tata busana semacam mahkota, sumping (hiasan telinga yang berukir), kelat bahu, kain batik, dan selendang sampur serupa penari yang menyiratkan citarasa tradisi lokal.

Visualisasi semacam ini lalu menjadi patokan bagi para komikus wayang setelahnya. Hasilnya, serial Mahabharata dalam 40 jilid (terbit antara 1955 dan 1960) yang masing-masing tersusun dari 42 halaman dengan episode pertama berjudul Leluhur Pandawa menjadi komik superlaris dan berhasil mengubah citra komik dari barang picisan menjadi bacaan mendidik yang disukai.

Keberhasilan komik wayang

Keberhasilan komik wayangnya yang terjual hingga 30.000 eksemplar tidak hanya membuka mata para komikus lain seperti John Lo, Darja Sutisna, Dudy Supardy, Ardina, dan Na Gok Liang untuk membuat karya serupa. Ini juga berdampak secara finansial dan membuatnya memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai juru gambar di Balai Pertanian Bogor demi menekuni profesi komikus.

Penghargaan terhadap komik pada masa itu terbilang lumayan. ”Imbalan komik itu sampai lima kali lipat gaji saya. Waktu itu gaji saya Rp 350 tahun 1950-an. Beras masih seperak setengah liter. Kalau tidak salah, dari membuat komik, saya dapat sekitar lima kali lipatnya. Itu mula-mula. Setelah itu dinaikkan sampai dapat Rp 4.000 satu bulan. Sama dengan gaji menteri,” ujar RA Kosasih dalam suatu wawancara.

Keberhasilan generasi awal komik wayang era RA Kosasih itu begitu luar biasa. Selanjutnya, bermunculan nama-nama kreator komik lain dari berbagai kota di Indonesia. Tak hanya di Bandung, tempat awal terbitnya genre komik ini, tetapi juga menyebar ke kota-kota lain. Komik wayang telah menjadi hasil budaya khas Indonesia yang berhasil memopulerkan nilai-nilai filosofis, ajaran moral, serta keindahan cerita pewayangan, sekaligus merupakan sumbangan berharga Indonesia bagi dunia.

Maka, tak berlebihan jika kemudian RA Kosasih sebagai pemula buku komik dan perintis komik wayang dinobatkan oleh banyak pengamat dan pencinta komik sebagai ”Bapak Komik Indonesia”. Namanya diabadikan sebagai penghargaan komik nasional, Kosasih Award, yang diberikan pertama kali pada 2007.

Sedikitnya ada 100 buku komik yang pernah dibuat RA Kosasih semasa hidupnya, meliputi beragam genre: superhero, komik wayang, folklor, fiksi ilmiah, roman percintaan, cerita silat, dan kisah petualangan. Ketika genre kisah silat merajai pentas komik nasional pada akhir 1960-an, RA Kosasih sempat melahirkan sejumlah komik silat, termasuk Raja Tanpa Mahkota, Setan Cebol, Dadali Putih”, Seta Ganda, Rara Inten, dan Dara Siluman. Dia juga pernah membuat komik roman semacam Kisah di Balik Iklan (1967).

Usia tua membuat RA Kosasih terpaksa benar-benar berhenti berkarya sejak 1993 hingga akhir hayatnya. Namun, serial komik wayang gubahannya yang legendaris dan menjadi inspirasi para komikus terkemuka dari generasi setelahnya, terus dicetak ulang hingga kini oleh penerbit Erlina (dulu bernama Maranatha), Bandung.***

Maranatha, Saksi Zaman Keemasan Komik Indonesia


Toko Buku Maranatha di Jalan Inggit Garnasih 150 Kota Bandung. Sampai
sekarang masih berdiri, mencetak ulang, dan men­jual komik-komik lawas
dari RA Kosasih dan para komikus lainnya.
Saya beruntung karena memiliki orangtua yang tak melarang saya membaca komik, malah mendorong saya banyak membaca. Ibu saya penggemar komik dan penyuka bacaan yang kerap membacakan cerita semasa saya kecil. Beliau menyukai komik wayang dan komik serial Gina karya Gerdi WK serta Guriang karya Rim. Sementara itu, bapak saya, walau bukan pembaca komik, mau memahami kegemaran anaknya terhadap bacaan dan sesekali mengabulkan permintaan saya untuk membelikan komik.

Pada masa kecil saya di Bandung awal 1980-an, saya kerap membeli komik, baik baru maupun bekas, di bursa buku Palasari dari tabungan yang saya sisihkan dari uang jajan harian dan penghasilan yang saya dapat dari menyewakan koleksi komik saya kepada teman-teman. Sebelum terbakar dan digusur lebih ke depan, bagian atas Pasar Palasari Bandung adalah surga bagi para penggemar komik. Dari rumah kami di kawasan Jalan Gatot Soebroto, Palasari bisa saya tempuh de­ngan naik sepeda sekitar 15 menit. Namun, jika saya berulang tahun, saya boleh memilih komik baru mana pun yang saya sukai di Toko Buku Maranatha di Jalan Ciateul (kini Jalan Inggit Garnasih) sebagai hadiah istimewa dari orangtua.

Tonggak historis

Maranatha didirikan pada 1963 di kawasan Kopo oleh Markus Hadi dan istrinya, Erlina. Saat beralih ke Ciateul pada 1971, Maranatha adalah salah satu tonggak historis di balik zaman keemasan komik Indonesia pada 1970 hingga 1980-an ketika komik lokal menjadi kegemaran tua-muda di mana-mana. Pada masa itu, Bandung menjadi kiblat komik Indonesia dan Maranatha adalah penerbit, percetakan, distributor, serta toko buku terdepan di antara penerbit komik lain seperti Melodie dan Cosmos yang pernah berjaya di kawasan Jalan ABC Bandung hingga 1980-an. Para komikus asal Bandung pun bermunculan di pentas komik nasional, seperti Kus Bram, U Sjah, Tatang S, Har, San Wilantara, Rio Purbaya, Shanty Sheeba, serta Rim dan istrinya Dewi.

Erlina (77), pemilik Toko Buku Maranatha dan Pe­nerbit Erlina,
masih menjalankan toko buku dan penerbitan yang dia rintis
bersama mendiang suaminya Markus Hadi sejak 1963.
Kini Erlina (77 tahun), ibu empat anak, meneruskan usaha suaminya yang meninggal dunia pada 1989. Maranatha pernah terpuruk dan vakum sejenak. Ketika Markus sakit berat dan kemudian meninggal dunia, anak-anaknya tak ada yang bersedia meneruskan usaha ini. Namun, perlahan Maranatha mulai aktif kembali menerbitkan komik walau hanya berupa cetak ulang naskah lama. Kini, penerbit Maranatha yang berganti nama menjadi penerbit Erlina masih menyuplai komik-komiknya ke berbagai kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Denpasar.

Toko Buku Maranatha kini hanya berupa toko kecil yang juga menjual alat-alat tulis dan melayani jasa fotokopi. Luas rua­ngannya tinggal separuh dari saat jayanya dulu. Namun, toko sederhana ini besar artinya bagi dunia komik Indonesia. Sehari-hari Erlina kini menunggui toko bersejarah itu ditemani cucu perempuannya, Benita (18), mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Parahyangan.

”Saya hanya mengisi waktu. Kebetulan ada yang masih suka mencari komik ke sini. Sehari bisa terjual 1-2 judul,” ujar Erlina kepada saya saat ditemui di tokonya, Kamis siang, 24 Juli lalu.

Kondisi ini berbeda jauh dengan masa jaya komik Indonesia pada 1980-an. Menurut Erlina, saat itu Maranatha sanggup setidaknya menerbitkan satu judul komik setiap hari. Para pedagang komik pun antre mengambil komik ke tokonya setiap hari. Para pembeli ramai berdatangan.

Selain komik wayang karya almarhum RA Kosasih yang terus dicetak ulang, saat ini Maranatha menjual edisi cetak ulang komik superhero serial ”Labah-labah Merah” karya Kus Bram, komikus top masa lalu yang bermukim di Cimahi, dan cerita silat karya U Sjah, komikus yang kini menjadi wiraswasta di kawasan Ci­caheum. Ada pula komik cerita rakyat, komik humor Petruk-Gareng karya Tatang S, dan komik anak-anak saduran kisah HC Andersen. Sejumlah komik lawas sisa masa lalu juga tersedia. Salah satunya karya Djair berjudul Lembah Putri Ular yang dibanderol seharga Rp 200.000.

Barang langka

Komik-komik lama yang pernah berjaya pada masa lalu dan terjual hingga puluhan ribu eksemplar setiap judulnya seperti serial Si Buta dari Gua Hantu atau serial fantasi Gundala kini menjadi barang langka yang menjadi incaran para kolektor. Akibatnya, harganya melambung tinggi di pasaran. Komik bekas cetakan pertama yang masih mulus kondisinya bisa dihargai hingga Rp 50.000 per jilidnya. Maka, tak heran jika komik lawas Wori Pendekar Bumerang serial Jaka Sembung karya Djair terbitan 1980-an yang terdiri atas delapan jilid bisa dihargai hingga Rp 400.000.

Untuk komik yang lebih langka seperti Komik Medan karya Taguan Hardjo atau Wiro Si Anak Rimba karya Kwik Ing Hoo harganya bisa mencapai jutaan rupiah. Sebagian pedagang buku online memanfaatkan peluang pasar itu.

”Saya pernah menjual komik Morina karya Taguan Hardjo edisi asli cetakan pertama seharga lima juta,” ujar Rully Andreas, pemilik Pustaka Kalyana, toko komik di Plaza Semanggi, Jakarta. Dia juga berjualan secara online dan menyediakan edisi fotokopi komik-komik lawas berbagai jenis, termasuk karya langka Taguan Hardjo, Kwik Ing Hoo, dan Teguh Santosa yang dibanderolnya seharga Rp 200.000 per bundel.

Gairah terhadap komik Indonesia juga memunculkan kembali para maestro lama seperti Hasmi, Gerdi WK, Kus Bram, dan Mansjur Daman (Man). Mereka bersatu di bawah panji studio Bumi Langit pimpinan kolektor komik Andi Wijaya untuk berkarya membuat komik strip yang dipublikasikan secara bersambung di harian Kompas. Sebagian karya lama mereka ditusir dan diterbitkan ulang. Gundala ciptaan Hasmi direproduksi oleh Sungging (anak almarhum Wid NS, pencipta Godam). Man bahkan muncul dengan karya-karya baru berformat novel grafis seperti Roseta (2010) yang berlatar Batavia abad ke-17 dan Dia (2013).

Sementara itu, karya-karya lama Ganes Th alias Ganes Thiar Santosa (1935-1995), sang maestro komik silat, dipublikasi ulang oleh penerbit Pluz+ yang dibidani Gienardy Santosa (anak Ganes Th) dan Andi Wijaya, baik serial Si Buta dari Gua Hantu seperti Manusia Serigala dari Gunung Tambora (2011) maupun komik lepas seperti Jampang Jago Betawi (2010). Bermunculan pula buku komik berformat omnibus (kumpulan cerita) seperti Cinta Itu Buta (2013) karya Gerdi WK yang mengangkat tema cinta dalam beragam cerita bergambar, termasuk tafsir ulang terhadap cerita rakyat Malin Kundang yang mengisahkan dahsyatnya cinta seorang ibu.

Komik Indonesia telah mengalami pasang surut dari masa ke masa dalam sekitar 80 tahun sejarahnya. Komik lawas kini menjadi barang langka yang kerap dirindukan para penggemarnya sebagai sarana nostalgia dan investasi berharga. Sementara, generasi komikus mutakhir terus bermunculan dengan karya-karya baru yang segar dan mencerminkan semangat zamannya. Namun, satu hal, perjalanan sejarah komik Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran penting kota Bandung dan Toko Buku Maranatha.***

Geliat Komik Indonesia dari Masa ke Masa

Sejarah mencatat, jejak komik Indonesia bermula sekitar 80 tahun silam sejak Kho Wan Gie (kemudian menggunakan nama Sopoiku) menciptakan komik serial ”Put On” pada awal 1931 di harian Sin Po setelah membuat komik serupa tanpa judul sejak 1930. Sebelumnya, tercatat komik impor ”Flash Gordon” karya Alex Raymond sebagai komik pertama yang muncul di Indonesia lewat majalah berbahasa Belanda D'Orient pada 1920-an. 

Komik strip “Put On” cikal bakal komik Indonesia, terbit pada awal 1931 di
harian ”Sin Po”. “Put On” terus bertahan sampai tahun 1960-an,
dengan berpindah-pindah media.*
Perjalanan komik ”Put On” (bermakna ”Si Gelisah” dalam dialek Hokkian) karya komikus asal Indramayu itu ikut jatuh bangun seiring sejarah negeri ini. Saat Sin Po diberedel pada zaman Jepang, ”Put On” sempat tiarap sebelum ”mengungsi” ke majalah Pantja­warna pada akhir 1950-an lalu beralih ke harian Warta Bhakti sebelum koran ini ditutup penguasa, terkait dengan peristiwa G 30 S 1965.

Setelah kemunculan ”Put On”, hadir Nasroen AS lewat komik seri ”Mentjari Poetri Hidjaoe” (1939) di majalah Ratoe Ti­moer. Komik ini digubah berdasarkan cerita rakyat Sumatra Utara.

Hingga kini le­genda tentang Putri Hijau selalu dikaitkan dengan sebuah meriam kuno keramat yang tersimpan di Istana Maimun, Medan. 

Pada awal 1950-an, salah satu pionir komik bernama Abdulsalam menerbitkan komik strip heroik di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. Salah satu karyanya berjudul ”Kisah Pendudukan Jogja” bercerita tentang agresi militer Belanda di Yogyakarta. Komik ini dibukukan pada 1952. 
Sementara itu, RA Kosasih yang kelak dikenal sebagai pelopor komik wayang menerbitkan komik fantasi Sri Asih pada 1953. Para pengamat komik berpendapat bahwa kedua karya inilah buku komik pertama karya komikus Indonesia. Bedanya, ”Kisah Pendudukan Jogja” karya Abdulsalam dibukukan dari komik strip bersambung, sedangkan Sri Asih karya RA Kosasih adalah buku komik utuh, bukan berasal dari komik strip. 

Perlu dicatat, penerbitan buku komik pertama di Indonesia ini ”hanya” berjarak 20 tahun setelah terbitnya buku komik pertama di Amerika Serikat, pusat komik dunia, yakni saat Max Gaines menjilid dan mengemas ulang sejumlah komik serial dari koran menjadi buku pada 1933 (Wei­ner: 2005).
RA Kosasih dikenal karena keberhasil­annya membawa epik Mahabharata dari wayang ke dalam media buku komik pada akhir 1950-an. Selain dia, tokoh komik wayang adalah Ardisoma dengan ”Wayang Purwa” dan Oerip.

Sementara itu, di Medan terdapat para komikus seperti Taguan Hardjo (Hikayat Musang Berjanggut, Sekali Tepuk Tujuh Nyawa, Setangkai Daun Surga), Zam Nuldyn (Dewi Krakatau), dan adiknya, Djas (Wak Bendil), yang menyumbangkan nilai filsafat ke dalam seni komik. Mereka mengeksplorasi cerita rakyat Sumatra yang kemudian menjadi tema komik yang sa­ngat digemari pada pertengahan 1950-an hingga awal 1960-an dan dikenal sebagai Komik Medan.

Masa setelahnya, pertengahan 1960-an, diwarnai komik revolusi dan perjuangan. Lalu, era akhir 1960-an setelah peristiwa G 30 S 1965 hingga awal 1980-an, ditandai dengan komik-komik romansa, cerita silat, dan superhero dengan tokoh-tokohnya antara lain Jan Mintaraga (terutama dengan komik percintaan dan cerita silat), Teguh Santosa (salah satu adikaryanya adalah trilogi komik berlatar sejarah Sandhora), Ganes Th (dianggap sebagai pionir komik silat terutama melalui serial Si Buta dari Gua Hantu), Djair Warni (komikus pencipta Jaka Sembung yang bisa dibilang serial epos terpanjang bertema nasionalisme), Man (serial silat Mandala), Hans Jaladara (komik silat Panji Tengkorak), Wid NS (komik superhero serial Godam), Hasmi (serial Gundala Putra Petir), dan Kus Bram (komikus asal Bandung yang tenar melalui serial fantasi Labah-labah Merah dan Kapten Nusantara).

Ada pula komik humor dengan tokoh punakawan Petruk dan Gareng dengan latar kekinian. Komikus paling menonjol yang menekuni genre ini adalah Indri Soedono (Semarang) dan Tatang Suhenra (Bandung). Marak pula komik anak-anak dengan kisah yang disadur dari karya HC Andersen. 

Masa ini, terutama 1970-an hingga awal 1980-an, bisa dibilang puncak zaman keemasan komik Indonesia yang ditandai dengan menyebarnya persewaan komik dan taman bacaan yang merambah hingga ke kota-kota kecil, bahkan gang-gang sempit. Kiblat komik saat itu adalah Bandung dengan ikonnya penerbit Maranatha yang menjadi salah satu penerbit komik terbesar dan keberadaan Bursa Buku Palasari yang menjadi salah satu pusat distribusi komik terbesar di Indonesia.

Begitu populernya komik Indonesia saat itu sehingga banyak komik yang diangkat ke layar lebar, antara lain sebagai film ”Si Buta dari Gua Hantu” (1970) yang dipe­rankan Ratno Timoer, ”Tuan Tanah Kedawung” (1970) yang dibintangi Suzanna dan Farouk Afero, ”Krakatau” (1977) yang didukung Dicky Zulkarnaen dan WD Mochtar, ”Jaka Sembung Sang Penakluk” (1981) yang dibintangi Barry Prima, serta ”Gundala Putra Petir” (1981) yang dipe­rankan Teddy Purba.

Masa surut dan peralihan generasi

Namun, pada akhir 1980-an dunia komik Indonesia mengalami kelesuan. Minat masyarakat yang sebelumnya amat tinggi terhadap komik mulai menurun. Ini diperparah dengan serbuan komik impor, terutama manga Jepang, sejak awal 1990-an.

Generasi komikus Indonesia 1990-an berkreasi di tengah lesunya komik Indonesia. Ditandai dengan dimulainya kebebasan informasi lewat internet, para komikus muda menggeliat dengan berupaya mengeksplorasi gaya masing-masing dengan mengacu pada karya-karya luar negeri yang lebih mudah diakses. Ada dua aliran utama yang mendominasi komik modern Indonesia kala itu, yaitu Amerika (lebih dikenal dengan comics) dan Jepang (dengan gaya manga). Pada masa ini muncul antara lain komik Caroq (1996) karya Ahmad Thoriq dan Kapten Bandung, Pahlawan Pembela Kebetulan (1996) karya Anto Motulz dan Pidi Baiq di Bandung. 

Di tengah kelesuan komik nasional, pada dekade 2000-an beberapa penerbit, baik yang mapan maupun indie, memberikan kesempatan kepada para komikus muda untuk mengubah wajah komik Indonesia  menjadi lebih segar. Mereka berkarya de­ngan basis komunitas seperti munculnya Akademi Samali (Beng Rahadian dkk.) di Jakarta pada 2005. Di era ini muncul pula komik digital. Selain itu, ada gerakan revitalisasi komik lawas dengan penerbitan ulang karya para maestro masa lalu.

Diawali dengan semangat untuk melawan hegemoni komik-komik dari luar Indonesia, muncullah komik-komik independen dengan ciri mencoba tampil beda serta mengembangkan gaya gambar lebih variatif dan eksperimental. Banyak komikus indie (independen) mengandalkan mesin fotokopi untuk penggandaan karya-karya mereka. Beberapa studio komik indie yang muncul antara lain ­Daging Tumbuh (Eko Nugroho dkk.) di Yogyakarta dan Bengkel Qomik.

Wajah komik Indonesia mutakhir

Periode sekitar 2010 sampai saat ini adalah masa ketika pasar komik di Indonesia memunculkan komik anak-anak, komik religi, serta integrasi komik ke dalam jejaring sosial. Tema yang dieksplorasi juga semakin beragam, termasuk munculnya tema politik seiring dengan perubahan angin politik Indonesia pasca-1998. Komikus semakin terpacu untuk mengangkat tema-tema yang sebelumnya tabu diungkap. 

Itu tampak dari terbitnya komik kritik sosial berbingkai humor dengan latar Jakarta karya Mice (Muhammad Misrad) macam Indonesia 1998 (2014) yang mengingatkan kita pada karya-karya Lat dari Malaysia seperti Town Boy, serta komik-komik tentang tokoh politik serupa Munir (2014, Sulaiman Said). 

Periode ini juga memunculkan berbagai isu lain, termasuk perluasan jangkauan ke tingkat internasional. Hal ini ditandai de­ngan keberhasilan sejumlah komikus Indonesia dalam menembus industri komik internasional, seperti Ario Anindito, komikus asal Bandung yang menjadi penciller untuk DC Comics di Amerika Serikat.

Fenomena lain adalah maraknya komik berlabel ”novel grafis” yang makin memperkaya khazanah komik kita. Jika dulu dikenal istilah cerita bergambar (cergam), kini ada gambar yang bercerita (novel grafis). Di Amerika Serikat, setelah terbit A Contract With God (1978) karya Will Eisner, muncul genre ”novel grafis” yang dianggap memadukan seni komik dan sastra. Masuknya novel grafis terjemahan dari Amerika Serikat karya para master seperti Will Eisner dan Art Spiegelman, serta gekiga ala Yashuhiro Tatsumi, berpengaruh pada kemunculan novel grafis di Indonesia. 

Menurut pakar komik Surjorimba Suroto, awal novel grafis di Indonesia dimulai dari Trilogi Sandhora (1969) karya Teguh Santosa walau saat itu istilah ”novel grafis” belum dikenal. Komik yang berlatar penyerbuan Spanyol ke Filipina dan Perang Diponegoro ini, kata Surjo, memenuhi dua hal yang dia sebut sebagai ciri novel grafis: cara bercerita yang unik dan teknik gambar yang eksperimental. Untuk karya lebih baru, Surjo menyebut Selamat Pagi Urbaz (2005, Beng Rahardian) sebagai contoh. 

Hingga kini komik dan novel grafis karya seniman komik kita terus bermunculan. Sejumlah karya yang layak disebut antara lain Mantra (2011, R Amdani dan Azisa Noor) dan Enjah (2013, Beng Rahadian dan Tomas). Keduanya termasuk di antara yang lolos seleksi penerjemahan ke bahasa Inggris untuk dibawa ke Frankfurt Book Fair 2015 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.***

Dari Bacaan Terlarang ke Frankfurt Book Fair

Marcell Bonneff, peneliti komik dari Prancis, menyatakan dalam Sebuah Cermin Ideologi: Cerita Bergambar Indonesia (1983) bahwa di Indonesia komik kerap dianggap sebagai hasil kebudayaan kelas kambing yang tak bernilai bagi kaum intelektual, bahkan dituding meracuni minat baca anak-anak. Di sisi lain, terdapat sekelompok orang yang menganggap komik sebagai karya seni yang telah diperlakukan secara tak adil dan berusaha mendudukkannya secara lebih layak.

Namun, benarkah tudingan bahwa komik itu tidak mendidik dan merusak minat baca sehingga anak-anak harus dilarang membacanya?

Saya bisa membaca aksara pada sekitar usia 4 tahun. Sejak itu saya menyukai komik. Komik saya gunakan sebagai perangsang minat baca dan kawan bermain. Jika anak-anak lain gemar membeli mainan, saya gemar membeli komik walau terkadang saya juga membeli mainan semacam mobil-mobilan. Akibat kegemaran membaca dan membeli komik itu-juga kemudian bacaan lain yang lebih sedikit gambarnya, misalnya serial Lima Sekawan karya Enid Blyton.

Pada usia 7 tahun saya membuka semacam taman bacaan kecil-kecilan bagi teman-teman di sekitar rumah saya. Itulah pertama kalinya saya mendapat penghasilan yang bukan pemberian orangtua. Uang yang saya dapat dari menyewakan komik itu saya belikan lagi komik dan buku.

Saat itu saya memiliki banyak sekali komik dan buku bacaan anak. Komik favorit saya adalah serial Godam karya Wid NS, serial Gundala karya Hasmi, serial Labah-labah Merah karya Kus Bram, serial Laba-laba Maut karya Djoni Andrean, serial Jaka Sembung karya Djair, dan serial Si Buta dari Goa Hantu karya Ganes Th, meski saya juga menyukai komik terjemahan seperti serial Tintin karya Herge.

Kegemaran membaca komik membuat minat baca saya tumbuh, bahkan berkembang subur. Saya ingat pertama kali membaca komik wayang RA Kosasih serial Ramayana yang dipinjamkan oleh kakak saya-yang juga penggemar komik dan kerap berebut membaca komik dengan saya-pada usia 8 tahun dan tak bisa berhenti membaca hingga larut malam. Saya begitu terpukau de­ngan kisahnya yang luar biasa, pertarungan kebaikan mengalahkan kejahatan yang dicapai melalui perjuangan berliku, serta oleh gambar-gambarnya yang indah.

Kemudian, saya juga menjadi tertarik membaca segala bacaan lain yang ada di rumah kami: buku-buku, majalah, dan koran. Minat saya semakin meluas, termasuk dengan kesukaan membaca karya sastra. Dan itu semua menjadi bekal berharga yang saya bawa hingga dewasa. Pada gi­lirannya, kegemaran membaca itulah yang menjadi pendorong saya untuk memilih jalan hidup dan berkecimpung dalam profesi yang berkaitan dengan dunia tulis-menulis. Pengalaman hidup saya membuktikan bahwa komik justru dapat menumbuhkan minat baca anak-anak yang kelak bermakna sepanjang hidup. Stigmatisasi negatif terhadap komik perlu diluruskan.

Senada dengan itu, Seno Gumira Ajidarma, sastrawan dan doktor komik, menyatakan bahwa komik itu baik sebagai hiburan, materi penelitian, atau bahan diskusi. Apalagi pada masa kini ketika masyarakat memasuki abad visual, dan komik adalah pelopornya.

”Ada stigma sosial yang secara keliru meremehkan komik. Seolah-olah komik tidak baik untuk anak-anak, bahkan berbahaya dalam menumbuhkan minat baca. Para intelektual pun merasa tak pantas membaca komik,” kritiknya.

Seperti ditulis komikus Jan Mintaraga dalam sebuah esai bertajuk “Komik, Bastar tanpa Kewarganegaraan” (Kompas, 1983), bagaimanapun komik adalah bagian tak tersangkal dari kebudayaan kita yang berkaitan seni rupa dan sastra.

Komik Indonesia menuju pentas dunia

Komik-komik lawas yang kini harganya melambung dan menjadi barang koleksi.
Toko Buku Maranatha masih menjual komik-komik lawas yang dicetak ulang
sampai sekarang.
Pada 2015, Indonesia didapuk sebagai tamu kehormatan dalam ajang Frankfurt Book Fair, pameran buku terbesar di dunia. Untuk menghadapi ajang itu, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menyeleksi dan mempersiapkan sekitar 300 buku dari berbagai genre untuk diterjemahkan ke bahasa Inggris dan Jerman guna dibawa ke Frankfurt.

Dari ratusan buku tersebut, terdapat 24 judul komik dari beragam genre (komik wayang, cerita silat, cerita anak, komik humor, komik sejarah, novel grafis) dan zaman yang lolos seleksi oleh tim kurator yang antara lain beranggotakan para pakar komik seperti Seno Gumira Ajidarma, Surjorimba Suroto, dan Andi Wijaya.

Komik-komik tersebut antara lain Mahabharata (RA Kosasih), Ramayana (RA Kosasih), Wayang Purwa (Ardisoma), Wiro (Kwik Ing Ho dan Lie Djoen Liem), Sie Djin Koei (Otto Suastika), Hikayat Musang Berjanggut (Taguan Hardjo), Merak Jingga (Zam Nuldyn), Trilogi Sandhora (Teguh Santosa), Kau Sudah Wanita, Flora (Jan Mintaraga), Si Buta dari Goa Hantu: Banjir Darah di Pantai Sanur (Ganes Th), Dagelan Petruk-Gareng (Indri Soedono), Lagak Jakarta (Beni dan Mice), Garudayana (Is Yuniarto), Mantra (R Amdani dan Azisa Noor), dan Enjah (Beng Rahadian dan Tomas).

Tentu saja ini kabar baik yang layak disambut gembira oleh para pemerhati komik. Ini merupakan pengakuan resmi dari pemerintah bahwa komik adalah karya kreatif yang layak dihargai dan pantas dipamerkan ke hadapan dunia sebagai kekayaan bangsa kita.

Anton Kurnia.
Jika Jepang secara terbuka mengakui komik manga sebagai kekayaan kultural mereka dan komoditas industri kreatif yang layak diekspor ke seluruh dunia, kenapa kita tidak bisa menepuk dada dengan kekayaan khazanah komik Indonesia?

Dengan demikian, komik telah dianggap setara dengan buku-buku dari genre lain untuk mewakili Indonesia ke pentas dunia, bersanding dengan karya sastra kelas wahid semacam novel-novel Pramoedya Ananta Toer dan buku puisi WS Rendra.

Ini sekaligus menepis tudingan bahwa komik adalah bacaan kelas rendah yang meracuni anak-anak dan tak layak dibahas secara terhormat.***

No comments:

Post a Comment